Kamis, 19 Januari 2017

I Bite! Hard! (Part 2)

                Aku masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku dikejar pemilik toko roti karena mencuri. Lalu aku tidak sengaja menabrak seseorang saat kabur. Orang itu kemudian membayar rotiku sehingga pemilik toko roti tadi tidak mempermasalahkannya lagi. Lalu aku diborgol oleh orang yang kutabrak tadi.
“Ini apa?” Tanyaku.
“Itu borgol. Seperti yang kau lihat” Balasnya.
“Apa kau akan membawaku ke polisi?”
“Tidak. Aku akan membawamu ke rumahku. Kau akan kujual sebagai budak. Hahahaha!!!”
“Apa aku akan mendapatkan makanan?”
“Eh? Ah... tentu saja. Salah satu peraturan perbudakan yaitu pemilik budak harus memberikan makanan kepada budaknya. Mereka tidak dapat bekerja dengan perut lapar kan?”
“Begitu ya? Ah... Pak?”
“Panggil aku bos”
“... Bos, terima kasih untuk rotinya.”
                Aku mengikuti bosku sambil mengunyah roti yang kudapatkan (kucuri) tadi. Selama aku tidak kelaparan, menjadi budak sepertinya tidak terlalu buruk. Jauh lebih baik daripada... Ugh... aku tidak ingin mengingatnya. Kenangan saat aku sendirian mencoba bertahan hidup di hutan.
“Dasar bodoh!!! Tidak berguna!!! Sampah!!!” Teriakan marah seseorang membuyarkan lamunanku. Seorang pria baru saja keluar dari rumahnya sambil menyeret seorang wanita. Banyak lebam dan bekas cambukan terlihat di tubuh wanita itu.
“A... am...pun...” Wanita itu memohon.
“Kau... berani-beraninya kau memecahkan vas kesayanganku!” Pria tadi membuang wanita tersebut ke jalan dan mulai mencambuknya.
                Para pejalan kaki yang berada di sekitar hanya bisa terdiam. Mereka tidak melakukan apapun untuk menghentikan pria tersebut, atau menolong wanita tadi. Atau lebih tepatnya, mereka tidak boleh melakukan apapun. Ikut campur dalam masalah antara majikan dan budak biasanya tidak berakhir baik. Mereka bisa dituduh menghalangi hak majikan atas budaknya. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan hanyalah tidak menghiraukan kejadian ini.
“Pergi dari rumahku! Aku tidak membutuhkanmu lagi!” Pria itu menutup pintu rumahnya.
“Tu...an... Jangan... usir... aku...” Budak itu dengan susah payah merangkak ke pintu rumah tuannya sambil memohon.
“Hey, ayo pergi. Jangan lihat mereka.” Panggil bosku.
“Um...” Aku berlari kecil menyusul bosku yang sudah agak jauh dari tempat tadi.
“...” Bosku terlihat sedikit tegang.
“Apa dia akan baik-baik saja?” Tanyaku.
“Semoga saja.”
“Kenapa dia tetap ingin bersama tuannya walaupun sudah disiksa seperti itu? Seharusnya dia senang bisa terbebas dari tuan seperti itu.”
“Itu karena peraturan perbudakan. Salah satu aturan perbudakan melarang seorang budak untuk pergi dari rumah majikannya tanpa ditemani oleh majikannya.” Bosku mulai menjelaskan.
“Ah... supaya mereka tidak melarikan diri?”
“Begitulah. Aturan yang lain, seorang budak harus diberikan tanda kepemilikan saat dibeli. Saat budak pergi dari rumah bersama majikannya, mereka diharuskan menunjukkan tanda kepemilikan ini pada petugas patroli. Dengan begitu, petugas bisa membedakan budak yang melarikan diri dan yang sedang menemani majikannya.” Lanjut bosku.
“Jadi... budak tadi...”
“Kemungkinan besar dia akan ditangkap. Skenario terburuk, dia akan dieksekusi. Budak yang kabur atau dibuang majikannya tidak diperlukan masyarakat.” Jawab bosku sambil menutup wajahnya dengan tangannya. Bahunya sedikit bergetar. Dia... menangis?

***

“Hoaaaahh...” Aku menguap sambil melakukan peregangan. Jam menunjukkan pukul 04:00. Waktunya bekerja. Untuk membersihkan seluruh rumah ini kira-kira aku membutuhkan waktu 1-2 jam. Setelah itu membuang sampah, menyiapkan sarapan, lalu mencuci pakaian kotor. Setelah itu stand-by menunggu perintah dari tuanku jika ada.
                Ah, sebelum itu aku harus mengganti kemeja ini dengan bajuku yang semalam dicuci tuan. Aku tidak bisa bekerja seperti ini. Aku lalu membuka pintu kamar.
“. . .” Lalu aku terdiam.
“. . .” Tuanku juga terdiam setelah melihatku. Tangannya sedang memegang sebuah sapu. Dari posenya juga sepertinya dia sedang menyapu.
“Tuan... sedang apa?” Tanyaku.
“Oh iya. Aku sedang menyapu.” Dia seperti tersadar dari lamunannya lalu lanjut menyapu.
“Tuan, itu pekerjaanku.”
“Ah, aku baru ingat kalau aku punya budak.” Apa kau akan terus menyapu, tuan???
“Berikan aku sapunya.” Kataku sambil mengambil sapu dari tuanku.
“Hee...” Wajahnya seperti anak kecil yang mainannya diambil dan... itu kantung mata???
“Serahkan urusan rumah padaku. Tuan santai saja.” Kataku sedikit pamer.
“Selama ini aku yang kerjakan urusan rumah. Kalau tiba-tiba disuruh santai...” Dia terlihat gelisah.
“. . . semua???”
“Iya. Membersihkan rumah, mencuci, belanja, memasak, semua aku kerjakan. Setelah itu mengecek laporan penjualan seperti semalam.”
“Tanpa istirahat?”
“Jangan bodoh. Tidurku cukup kok.” Kantung mata itu berkata lain tuan...
“Tidur. Sekarang. Serahkan urusan rumah padaku, budakmu. Tuan istirahat saja.”
“Ah... oke...” Katanya sambil berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Sepertinya tubuhnya benar-benar butuh istirahat sampai-sampai dia tidak protes disuruh-suruh budaknya seperti ini.


To Be Continued...

---------

Hasil mikir selama 2 jam cuman dapet segini. Berasa ga produktif banget. Sebenarnya ada sih ide... tapi isinya buat bagian flashback gitu, akhirnya lupa mikirin plot buat yang present time. Maafkan diriku yang terjebak di masa lalu sampai seperti ini.

Btw, kalau mau komentar, mending langsung mention ke twitter atau chat di FB aja (ada di profil). Jarang buka blog kecuali pas mau posting aja soalnya.

Selasa, 10 Januari 2017

Setelah lama hiatus

                Sudah hampir 2 jam aku berdiri di sudut ruang kerja majikan baruku. Ruangan ini hanya diterangi cahaya dari perapian, dan lampu di meja kerja tuan. Selama 2 jam ini, tuanku terus saja berkonsentrasi pada tumpukan laporan di depannya. Sesekali ia menggaruk kepalanya, melakukan peregangan, atau berjalan mondar-mandir untuk berpikir. Beberapa kali ia menggerutu sambil melempar gumpalan kertas ke tempat sampah.
“…”
“…”
“Oi, tuan..” Aku coba memanggilnya.
“Ngg?” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya.
“Apa tuan tidak mau menyuruhku sesuatu?”
“Ng? Tidak perlu. Aku sudah mengurus semua pekerjaan di rumah ini.”
Aku sedikit tidak percaya. Setelah pamit, aku keluar dari ruang itu untuk mengecek bagian lain dalam rumah. Kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi, dapur, semuanya bersih. Aku kembali ke ruang kerja tuan dengan sedikit kecewa karena tidak ada yang bisa aku kerjakan.
“…” Tuanku masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Tuan, apa ada yang bisa aku kerjakan?”
“Ng… sepertinya tidak ada.”
“Apa jendelanya perlu kubuka?”
“Jangan. Ini kondisi optimalku untuk bekerja. Cahaya tambahan hanya akan mengalihkan perhatianku.”
“Apa aku harus berdiri di sini saja sampai tuan selesai?”
“Tidak ada yang menyuruhmu berdiam diri di situ kan?”
“Lalu untuk apa aku dibeli?” Aku mulai kesal.
“Aku tidak membelimu. Ingat?”
“…”
“Hhh… aku tidak bisa bekerja dengan tenang kalau seperti ini. Kamu menunggu perintahku? Kalau begitu sekarang kamu mandi, tidur, biarkan aku bekerja. Oke?”
“…” Aku pergi sambil membanting pintu.

***
“Hah, hah, hah” Aku berlari menembus keramaian pasar sambil memeluk sebantal roti.
“Tangkap anak itu! Dia mencuri rotiku!!” Terdengar suara orang yang mengejarku.
Kaki kecilku tidak mampu membawaku berlari lebih cepat dari orang dewasa. Hanya masalah waktu sampai aku tertangkap.
“Ah!” Aku terjatuh setelah menabrak seseorang.
“Tertangkap kau anak kecil!” Pemilik toko roti itu terlihat puas setelah menangkapku.
“Tunggu! Jangan ganggu dia. Ini, bayaran untuk rotimu” Siapa?
“Kau siapa? Teman anak ini?” Siapa dia?
“Bukan. Aku hanya tidak ingin melihat anak kecil sepertinya terluka”
“Ya sudah kalau begitu.” Pemilik toko roti itu pergi.
“Kau tidak apa-apa” Tanya orang yang menolongku.
“...” Aku hanya menggeleng.
“Sekarang ikut aku” Dia tersenyum sambil memborgol tanganku.

***
“Aahhh!!!… kau lagi!?” Tanya bosku. Orang yang menangkapku saat aku kecil untuk dijual.
“…” Aku mengalihkan pandanganku.
“Aku ingin mengembalikan barangmu.” Kata pria di sebelahku dengan nada memohon. Sebelah tangannya diperban.
“Aku bukan ‘Barang’. Mau kupatahkan tanganmu yang satunya?” Tanyaku sambil tersenyum manis.
“Jangan bicara seperti itu pada pelanggan!!!” Teriak bosku panik.
“Gadis ini gila! Tiba-tiba saja dia mematahkan tanganku…”
“Setelah dia menyentuh dadaku.” Sambungku.
“. . .”
“. . .” Bos dan dia terdiam.
“Bukankah sudah kuingatkan dulu? Dia hanya mau dijual sebagai pembantu. Di luar dari itu bukan tanggung jawab kami.”
“Tapi seharusnya budak itu patuh pada apapun perintah majikannya! Aku sudah membeli dia!”
“Dia ini… sedikit berbeda. Aku sama sekali tidak bisa membuat dia patuh sejak pertama kali aku menangkapnya. Aku sendiri mencapnya sebagai produk gagal, tapi karena dia tidak punya tempat tujuan lain, dia setuju untuk dijual, dengan syaratnya sendiri.” Bosku mengeluh pada “pelanggan” itu tentang diriku.
“Cambuk dia supaya dia tau siapa yang berkuasa!” Suruh pelangganku.
“Silahkan tuan coba sendiri.” Kataku sambil memberikan sebuah cambuk dengan senyum cemerlang.
“Ahh…” Bosku hanya menutup wajahnya. Dia tau apa yang akan terjadi.
                Pelanggan itu langsung memecutkan cambuknya ke arahku. Wajahnya terlihat puas melihat ekspresi kesakitanku. Atau setidaknya itu yang dia harapkan. Ujung cambuknya telah kutangkap. Dengan cepat aku menariknya, lalu mengikatnya dengan cambuknya sendiri. Dia melihat wajah tersenyumku dengan ketakutan.

***
Aku dan bosku berada di ruang kerjanya sambil minum teh bersama.
“Aku tidak mengerti apa yang ada di pikiranmu.” Bosku memulai percakapan.
“Mmm? Menurutku aku cukup sederhana. Aku mencari majikan yang pas denganku, lalu bekerja padanya.”
“Kenapa malah budak yang pilih-pilih majikan? Aku sudah tidak tau lagi yang mana yang budak, yang mana yang majikan.”
“…” Aku menyeruput sedikit tehku.
“Kalau kamu terus-terusan seperti ini, reputasiku bisa hancur. Tidak akan ada lagi orang yang mau membeli budak dariku.” Dia terlihat frustrasi.
“… Maaf.” Kataku sambil mengalihkan pandanganku. Bosku terlihat sedikit kaget.
“Kalau kau mau kau tidak perlu menjadi budak, kau tau?”
“Hmm...”
“Ya sudahlah. Semoga saja masih ada yang mau membelimu.”

***
“…”
“Ehehe…” Aku mencoba mencairkan suasana.
“Sekarang kenapa lagi?” Bosku bertanya sambil memijit kepalanya.
“Budakmu ini kabur.” Kata majikan baruku yang entah ke berapa. Wajahnya memerah karena marah.
“Tentu saja aku kabur. Aku tidak mau dikunci di gudang bawah tanah hanya karena tidak mau memperlihatkan tubuhku padamu.” Kataku datar membuat bosku semakin terlihat menyedihkan.
“Violation of rule. Ini salah tuan. Saya tidak bisa berbuat apa-apa.” Bosku terlihat lelah.
“Hah!? Jadi aturan sebelum aku membelinya itu serius?!”
“Anda pikir kenapa sya menjual dia dengan harga 1/10 budak normal? Itu karena dia susah diurus.”
“Tch, budak macam apa ini?! Tidak berguna!”
“…” Aku kesal, lalu mengangkat tanganku untuk memukul wajahnya.
“Anda sendiri apa anda sebegitu miskinnya sampai mencari budak dengan harga 10 kali lebih murah?” Aku ditahan bosku.
“…” Muka orangku itu semakin memerah lalu pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
“…Nanti tidak ada orang lagi yang mau membeli di tempatmu bos.” Kataku sambil tertunduk.
“Kalau kamu merasa bersalah seharusnya kamu jangan membuatku susah seperti ini.” Kata bosku sambil membuat teh.
“Hhh... Seharusnya aku tidak menangkap anak pencuri roti itu untuk dijual.” Lanjutnya sambil mengingat masa lalu.
“Kalaupun bos tidak menangkapku, aku pasti akan mengikutimu kemanapun.” Kataku sambil tersenyum.
“Senyum iblisnya muncul lagi.”
“Waaa... how cruel.” Kataku pura-pura cemberut.

***
               Aku ketiduran. Entah sudah berapa lama aku berada di dalam bath tub. Setelah mengeringkan badan dan rambutku, aku mencari pakaianku, tapi tidak menemukannya. Di tempat aku menaruh pakaianku tadi, aku menemukan sebuah kertas. “Kau tidak menjawab saat kupanggil di kamar mandi tadi, jadi aku tinggalkan pesan di sini. Bajumu kotor, jadi kutaruh di mesin cuci. Pakai saja pakaian yang kugantung di dekat pintu.”.
                Saat ke rumah ini, aku hanya punya sepasang pakaian, yaitu pakaian maid yang aku kenakan. Aku tidak punya pakaian lain, karena biasanya budak hanya mendapat pakaian dari majikannya. Tunggu dulu... Aku membaca sekali lagi suratnya.
“TUAAAANNNNN!!!!”
“Ada apa? Tolong jangan berisik. Aku harus menyelesaikan laporannya hari ini.”
“Hah, hah, apa tuan, hah, hah, yang mencuci bajuku?” Tanyaku setelah berlari dari kamar mandi hanya mengenakan handuk ke ruang kerja tuan.
“Iya. Dengan mesin cuci.” Jawabnya datar sambil terus mengerjakan laporannya.
“Be,berarti, br,bra dan celana dalamku...”
“Ha?”
“Lupakan. Lalu ini apa?” Tanyaku sambil menunjukkan sebuah kemeja lengan panjang. Ukurannya terlalu besar untukku.
“Bukannya sudah kujelaskan di surat itu kalau itu bajumu?”
“Tunggu. Kenapa cuma kemeja??” Dia tidak memberikanku bawahan.
“Aku ingat tinggi, dan ukuran badanmu. Kemejaku saja sudah cukup untuk dipakai seperti dress.”
“Haaa???” Aku melongo.
“Kamu datang ke rumah ini mendadak. Aku tidak sempat menyiapkan baju untukmu. Aku sedang sibuk, jadi tidak punya waktu untuk belanja. Aku juga tidak bisa menyuruhmu membeli bajumu sendiri karena aturan budak tidak boleh pergi dari rumah majikannya sendirian.”
“Uuu... lalu... da-dalamannya?”
“Tidak ada. Kecuali kamu tidak keberatan dengan dalamanku.”
“!!!” Aku membanting pintu lalu menuju kamar tidurku.

                Uhh... rasanya aneh, dan agak sejuk di bagian bawah. Dengan terpaksa aku mengenakan pakaian dari tuanku lalu menarik selimut. Majikan baruku... sedikit membuatku tidak nyaman dalam konteks yang berbeda dari majikan-majikanku sebelumnya.

---------------------

Ketemu lagi sejak terakhir apdet blog ini. Tiba-tiba pengen nulis lagi, jadi ya...

Apa ada perubahan dari gaya penulisan di cerita-cerita sebelumnya? Karena udah lama ga nulis berasa rada kaku gitu, tapi semoga aja enak dibaca.

I just sneak a peek on my earlier posts and OH MY EFFIN GOD I'M SO CRINGE!!! KILL HIM WITH FIRE PLZ!!! Rasanya pen tampar aja itu past-self. Berasa lewatin fase anak SMP lebih dari sekali!

Sekarang aku udah selesai kuliah, dan jadi pengangguran. Semoga aja produktif bikin cerita lain, ga cuma cerita Rei & Fuyuka. Itu proyek 4koma iseng sama temen.

Wish me luck guys.