Aku masih mencerna apa yang baru
saja terjadi. Aku dikejar pemilik toko roti karena mencuri. Lalu aku tidak
sengaja menabrak seseorang saat kabur. Orang itu kemudian membayar rotiku
sehingga pemilik toko roti tadi tidak mempermasalahkannya lagi. Lalu aku
diborgol oleh orang yang kutabrak tadi.
“Ini apa?”
Tanyaku.
“Itu borgol.
Seperti yang kau lihat” Balasnya.
“Apa kau akan membawaku ke polisi?”
“Apa kau akan membawaku ke polisi?”
“Tidak. Aku
akan membawamu ke rumahku. Kau akan kujual sebagai budak. Hahahaha!!!”
“Apa aku
akan mendapatkan makanan?”
“Eh? Ah... tentu saja. Salah satu peraturan perbudakan yaitu pemilik budak harus memberikan makanan kepada budaknya. Mereka tidak dapat bekerja dengan perut lapar kan?”
“Eh? Ah... tentu saja. Salah satu peraturan perbudakan yaitu pemilik budak harus memberikan makanan kepada budaknya. Mereka tidak dapat bekerja dengan perut lapar kan?”
“Begitu ya?
Ah... Pak?”
“Panggil aku
bos”
“... Bos,
terima kasih untuk rotinya.”
Aku mengikuti bosku sambil
mengunyah roti yang kudapatkan (kucuri) tadi. Selama aku tidak kelaparan,
menjadi budak sepertinya tidak terlalu buruk. Jauh lebih baik daripada...
Ugh... aku tidak ingin mengingatnya. Kenangan saat aku sendirian mencoba
bertahan hidup di hutan.
“Dasar
bodoh!!! Tidak berguna!!! Sampah!!!” Teriakan marah seseorang membuyarkan
lamunanku. Seorang pria baru saja keluar dari rumahnya sambil menyeret seorang
wanita. Banyak lebam dan bekas cambukan terlihat di tubuh wanita itu.
“A...
am...pun...” Wanita itu memohon.
“Kau...
berani-beraninya kau memecahkan vas kesayanganku!” Pria tadi membuang wanita
tersebut ke jalan dan mulai mencambuknya.
Para pejalan kaki yang berada di
sekitar hanya bisa terdiam. Mereka tidak melakukan apapun untuk menghentikan
pria tersebut, atau menolong wanita tadi. Atau lebih tepatnya, mereka tidak
boleh melakukan apapun. Ikut campur dalam masalah antara majikan dan budak biasanya
tidak berakhir baik. Mereka bisa dituduh menghalangi hak majikan atas budaknya.
Satu-satunya yang bisa mereka lakukan hanyalah tidak menghiraukan kejadian ini.
“Pergi dari
rumahku! Aku tidak membutuhkanmu lagi!” Pria itu menutup pintu rumahnya.
“Tu...an...
Jangan... usir... aku...” Budak itu dengan susah payah merangkak ke pintu rumah
tuannya sambil memohon.
“Hey, ayo
pergi. Jangan lihat mereka.” Panggil bosku.
“Um...” Aku
berlari kecil menyusul bosku yang sudah agak jauh dari tempat tadi.
“...” Bosku
terlihat sedikit tegang.
“Apa dia
akan baik-baik saja?” Tanyaku.
“Semoga
saja.”
“Kenapa dia
tetap ingin bersama tuannya walaupun sudah disiksa seperti itu? Seharusnya dia
senang bisa terbebas dari tuan seperti itu.”
“Itu karena
peraturan perbudakan. Salah satu aturan perbudakan melarang seorang budak untuk
pergi dari rumah majikannya tanpa ditemani oleh majikannya.” Bosku mulai
menjelaskan.
“Ah...
supaya mereka tidak melarikan diri?”
“Begitulah.
Aturan yang lain, seorang budak harus diberikan tanda kepemilikan saat dibeli.
Saat budak pergi dari rumah bersama majikannya, mereka diharuskan menunjukkan
tanda kepemilikan ini pada petugas patroli. Dengan begitu, petugas bisa membedakan
budak yang melarikan diri dan yang sedang menemani majikannya.” Lanjut bosku.
“Jadi...
budak tadi...”
“Kemungkinan
besar dia akan ditangkap. Skenario terburuk, dia akan dieksekusi. Budak yang
kabur atau dibuang majikannya tidak diperlukan masyarakat.” Jawab bosku sambil
menutup wajahnya dengan tangannya. Bahunya sedikit bergetar. Dia... menangis?
***
“Hoaaaahh...”
Aku menguap sambil melakukan peregangan. Jam menunjukkan pukul 04:00. Waktunya
bekerja. Untuk membersihkan seluruh rumah ini kira-kira aku membutuhkan waktu
1-2 jam. Setelah itu membuang sampah, menyiapkan sarapan, lalu mencuci pakaian
kotor. Setelah itu stand-by menunggu perintah dari tuanku jika ada.
Ah, sebelum itu aku harus
mengganti kemeja ini dengan bajuku yang semalam dicuci tuan. Aku tidak bisa
bekerja seperti ini. Aku lalu membuka pintu kamar.
“. . .” Lalu
aku terdiam.
“. . .”
Tuanku juga terdiam setelah melihatku. Tangannya sedang memegang sebuah sapu.
Dari posenya juga sepertinya dia sedang menyapu.
“Tuan...
sedang apa?” Tanyaku.
“Oh iya. Aku
sedang menyapu.” Dia seperti tersadar dari lamunannya lalu lanjut menyapu.
“Tuan, itu
pekerjaanku.”
“Ah, aku
baru ingat kalau aku punya budak.” Apa kau akan terus menyapu, tuan???
“Berikan aku
sapunya.” Kataku sambil mengambil sapu dari tuanku.
“Hee...”
Wajahnya seperti anak kecil yang mainannya diambil dan... itu kantung mata???
“Serahkan
urusan rumah padaku. Tuan santai saja.” Kataku sedikit pamer.
“Selama ini aku yang kerjakan urusan rumah. Kalau tiba-tiba disuruh santai...” Dia terlihat gelisah.
“Selama ini aku yang kerjakan urusan rumah. Kalau tiba-tiba disuruh santai...” Dia terlihat gelisah.
“. . .
semua???”
“Iya.
Membersihkan rumah, mencuci, belanja, memasak, semua aku kerjakan. Setelah itu
mengecek laporan penjualan seperti semalam.”
“Tanpa istirahat?”
“Jangan
bodoh. Tidurku cukup kok.” Kantung mata itu berkata lain tuan...
“Tidur.
Sekarang. Serahkan urusan rumah padaku, budakmu. Tuan istirahat saja.”
“Ah...
oke...” Katanya sambil berjalan sempoyongan menuju kamarnya. Sepertinya
tubuhnya benar-benar butuh istirahat sampai-sampai dia tidak protes
disuruh-suruh budaknya seperti ini.
To Be Continued...
---------
Hasil mikir selama 2 jam cuman dapet segini. Berasa ga produktif banget. Sebenarnya ada sih ide... tapi isinya buat bagian flashback gitu, akhirnya lupa mikirin plot buat yang present time. Maafkan diriku yang terjebak di masa lalu sampai seperti ini.
Btw, kalau mau komentar, mending langsung mention ke twitter atau chat di FB aja (ada di profil). Jarang buka blog kecuali pas mau posting aja soalnya.
Btw, kalau mau komentar, mending langsung mention ke twitter atau chat di FB aja (ada di profil). Jarang buka blog kecuali pas mau posting aja soalnya.